Komaruddin Hidayat dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Kematian” mengungkapkan sebuah kisah tentang kegelisahan dan kegembiraan Penduduk surga terhadap harta warisan yang mereka tinggalkan untuk anak-anaknya.
Dalam sebuah kisah disebutkan, suatu hari Nabi Isa menasihati murid-muridnya untuk bersikap ekstra hati-hati terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua. Suatu hari, Nabi Isa memulai dengan nasihatnya, malaikat penjaga surga ketika berjalan-jalan mengontrol taman surga bertemu dengan dua orang yang tengah bercanda. Suasana menjadi ceria saat malaikat datang dan ikut bergabung. Di tengah suasana ceria itu, penduduk surge teringat akan anak cucunya yang masih hidup, kemudian dia meminta tolong kepada malaikat,” Hai , sahabat kami malaikat yang baik, tolonglah kami dibukakan jendela surga ini barang sejenak karena kami ingin melihat keadaan anak cucu kami yang masih tinggal di bumi.” Begitu pinta mereka. “Baiklah”, kata malaikat , “Silahkan kalian berdua berdiri dekat jendela surga untuk kami bukakan sejenak.”
Demikianlah, setelah dua penghuni surga tersebut melihat dunia tidak lebih dari 5 menit, tiba-tiba suasana ceria yang penuh canda tiba-tiba salah seorang dari mereka menjadi sedih dan menangis pilu, sementara yang lainnya tampak ceria. Lalu malaikat bertanya padanya,”Hai, kawan, ceritakanlah apa yang terjadi dengan keluargamu, aku sudah menuruti permintaanmu untuk membukakan jendela surga, mestinya engkau gembira setelah melihat keadaan keluarga yang engkau tinggalkan, tapi nyatanya engkau malah kelihatan sangat bersedih. Apa yang kau lihat dan apa yang bisa aku bantu untuk meringankan penderitaanmu?”
Lalu orang tersebut menuturkan kepedihannya. Katanya, ketika dia mengintip dunia dari jendela surga ternyata anak cucunya tengah berebut warisan yang dia tinggalkan. Tidak hanya berebut, bahkan gara-gara warisan itu mereka saling bermusuhan, fitnah memfitnah dan sampai pada usaha untuk saling membunuh. Gara-gara warisan saudara kandung berubah menjadi musuh. Padahal, lanjut penghuni surga tadi, dulu dia berfikir bahwa dengan bekerja keras mengumpulkan harta warisan, dia berharap anak cucunya sampai tujuh turunan hidup makmur, tanpa harus bersusah payah seperti orang tua mereka. Tetapi kenyataannya perhitungannya meleset. Kini justru harta warisan itu menjadi pangkal malapetaka.
Sambil menenangkan penduduk surga yang masih menunduk pilu, malaikatpun berpaling kepada yang lain. “Hai kawan, apa yang kau saksikan di dunia sehingga engkau Nampak begitu gembira?” Dengan wajah berbinar teman tadi menjelaskan keadaan anak cucunya yang masih bahagia. Keluarganya hidup utuh dan harmonis serta dicintai banyak orang. Tidak ada perasaan yang lebih membahagiakan orang tua kecuali melihat anak cucunya hidup rukun dan tampil menjadi pemimpin masyarakat berkat pendidikan dan keimanan yang ditanamkan oleh orang tuanya. “Rupanya pilihanku benar. Bahwa warisan terbaik itu bukanlah tumpukan harta, tetapi kualitas pendidikan yang baik dan nila-nilai keagamaan.”
(Dikutip dari Buku "Psikologi Kematian" by Komaruddin Hidayat Penerbit Hikmah Zaman Baru tahun 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar